
Curah hujan pada 1 Januari 2020 di sekitar Jakarta, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), termasuk yang paling ekstrem dan tertinggi sejak 154 tahun lalu. Banjir yang dipicu hujan besar menenggelamkan sebagian ibukota negara dan kota-kota penyangga sekitarnya. Sampai hari ini, lebih dari 50 orang tewas dan lebih dari 170 ribu orang menjadi pengungsi dadakan karena rumah mereka tersapu air bah. Sudah banyak penelitian dan kajian untuk menanggulangi banjir Jabodetabek. Baik pemerintah pusat dan daerah telah memproduksi dokumen perencanaan, tata ruang, master plan dan program. Namun, sedikit dari rencana-rencana tersebut sedikit yang sudah benar-benar terlaksana. Implementasi rencana penanggulangan banjir masih parsial, jangka pendek, dan belum terintegrasi.
Eksploitasi air tanah yang berlebihan di Jakarta menyebabkan ibu kota negara ini terus tenggelam, dengan rata rata-rata laju penurunan tanah sekitar 3-18 cm per tahun. Kondisi ini bertambah memburuk di Jakarta Utara yang berbatasan dengan laut. Tinggi permukaan tanah di wilayah ini 1,5 meter lebih rendah dari permukaan air laut sebagai dampak perubahan iklim. Akibatnya aliran air dari hulu (Bogor dan Depok) pun tidak dapat terbuang ke laut. Selain penurunan permukaan tanah, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan banjir Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Saluran dan tangkapan air (waduk, sungai, kanal banjir, drainase dan ruang terbuka hijau) yang ada kapasitasnya kurang untuk menampung volume air yang besar akibat curah hujan yang ekstrem. Aliran dan sempadan sungai menyempit karena sebagian sungai di Jabodetabek mengalami pendangkalan. Beberapa daerah resapan dan waduk juga kurang maksimal karena berubah fungsi.
Selain itu saluran-saluran air yang ada tersumbat sampah akibat manajemen sampah yang buruk. DKI Jakarta memproduksi sampah kurang lebih 7,500 ton per hari atau 2,7 juta ton per tahun. Jumlah itu belum termasuk 300-400 ton sampah yang dibuang oleh penduduk ke sungai terutama pada saat musim hujan. Genangan air juga disebabkan oleh isu lama, yaitu tertutupnya permukaan tanah yang dilapis beton atau material yang menahan air untuk meresap dalam tanah. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi, pembangunan infrastruktur yang massif serta urbanisasi menyebabkan okupasi lahan semakin sempit.
Untuk mengelola dan mengurangi aliran air yang berlebihan dari hulu (Bogor dan Depok), maka pemerintah pusat perlu mendukung Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta dalam program-program penanggulangan banjir mereka. (1) Selain revitalisasi hutan dan pembatasan pendirian bangunan di kawasan Puncak dan Bogor, penyelesaian waduk Ciawi dan Sukamahi untuk mengurangi air di sungai-sungai besar sangat mendesak. (2) Dengan tren curah hujan yang terus tinggi, wilayah-wilayah ini perlu memiliki aliran dan penampungan air yang memadai. (3) Pemeliharaan dan pengerukan harus menjadi prioritas pemerintah.
(4) Kebijakan yang perlu segera dipercepat adalah realisasi pengelolaan sampah yang terintegrasi dan modern. (5) Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 3/2013 tentang Pengelolaan Sampah masih menggunakan konsep lama. Misalnya mulai dari pemilahan dan pembuangan masih konvensional. Untuk pembuangan, masih mengandalkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Bantar Gerbang. Padahal kapasitas TPA ini sudah tidak bisa diandalkan. Kota sebesar dan sekaya DKI Jakarta mestinya sudah harus memiliki pengolahan sampah sendiri seperti ITF (Intermediate Treatment Facilities). Meskipun ITF ini juga sudah dimulai, tak kalah pentingnya mengubah cara berpikir masyarakat dengan membangun pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang menghasilkan kompos. Begitu juga dengan sistem pemilahan dan pengumpulan sampah dari rumah tangga ke tempat fasilitas pengolahan.
Selain kebijakan struktural di atas, untuk mengurangsi risiko banjir adalah perilaku manusia juga perlu berubah. Komitmen, kedisiplinan, dan keberanian serta terobosan pengambil kebijakan sangat diperlukan–termasuk keberanian untuk menegakkan hukum secara konsisten. Saat sidak ke gedung-gedung di Jalan Sudirman Jakarta tahun 2008, misalnya, pemerintah DKI Jakarta hanya mengirimkan surat teguran kepada salah satu hotel yang melanggar peraturan daerah tentang sumur resapan, instalasi pengolahan limbah, dan pemanfaatan air tanah.
Kebijakan dan informasi seperti mitigasi bencana, kesiapsiagaan, peta rawan bencana, rencana evakuasi, peringatan dini harus disosialisasikan kepada masyarakat secara terus menerus. Kita perlu membudayakan kesiapsiagaan bencana. Pendidikan bencana menjadi kunci ketahanan (bukan kepasrahan) masyarakat menghadapi banjir ke depan. Sikap dan perilaku sadar bencana tidak hanya untuk kesiapsiagaan. Bencana seperti banjir, memerlukan persepsi, kesadaran, kedisiplinan yang terus menerus. Misalnya, dengan tidak membuang sampah sembarangan dan budaya menjaga lingkungan.
1. Apa gagasan utama pada paragraf pertama dari teks di atas?
A. Curah hujan paling eksterm setelah lebih dari ratusan tahun lamanya.
B. Banjir menenggelamkan daerah Jabodetabek.
C. Implementasi rencana penanggulangan banjir belum sempurna.
D. Penelitian dan kajian untuk mengatasi banjir daerah Jabodetabek.
E. Banyaknya pengungsi dan korban jiwa akibat banjir pada daerah
Jabodetabek.
2. Berdasarkan paragraf kedua pada teks di atas, pernyataan yang
paling tepat dan sesuai dengan isi teks adalah…
A. Tenggelamnya daerah ibukota bukan merupakan dampak dari perubahan iklim.
B. Faktor banjir di daerah Jabodetabek disebabkan oleh eksploitasi air
tanah, penurunan permukaan air, dan curah hujan yang tinggi,
C. Eksploitasi air tanah beserta curah hujan yang eksterm merupakan
kontribusi atas kurangnya kapasitas saluran air.
D. Aliran air dari hulu tidak dapat mengalir ke laut di daerah Jakarta Utara
E. Fungsi daerah resapan memiliki kinerja yang spesifik terhadap saluran
air.
3. Berdasarkan isi dari teks di atas, pernyataan apa yang paling
benar dan sesuai dengan intisari teks?
A. Curah hujan yang eksterm merupakan sebuah pemicu untuk seluruh isu
banjir.
B. Solusi atas banjir Jabodetabek berkisar dari kebijakan struktur oleh
pemerintah, mengubah perilaku manusia, dan pendidikan terhadap masyarakat.
C. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan TPA.
D. Implementasi rencana penanggulangan banjir berdampak positif terhadap
tingkat banjir di daerah Jabodetabek.
E. Manajemen sampah yang buruk merupakan isu lama, menciptakan genangan air
hingga menjadi isu pemicu banjir di daerah Jabodetabek.
4. Perhatikan teks tersebut. Pada kalimat yang diberi angka terdapat
kesalahan tata kalimat yang tidak sesuai dengan KBBI. Kalimat yang memiliki
kesalahan tersebut adalah kalimat…
A. Kalimat (1)
B. Kalimat (2)
C. Kalimat (3)
D. Kalimat (4)
E. Kalimat (5)
5. Bagaimana sikap penulis dalam bacaan di atas?
A. Kritis dengan implementasi rencana penanggulangan banjir yang telah
dilakukan pemerintah.
B. Berpihak dengan aksi dan kebijakan yang dilaksanakan pemerintah.
C. Objektif dalam identifikasi masalah dan sugesti solusi atas masalah
banjir.
D. Kesal dengan korban dan kerusakan yang dihasilkan banjir.
E. Mengajak kesadaran kepada masyarakat atas banjir.
Saat sidak ke gedung-gedung di Jalan Sudirman Jakarta tahun 2008, misalnya,
pemerintah DKI Jakarta hanya mengirimkan surat teguran kepada salah satu
hotel yang melanggar peraturan daerah tentang sumur resapan, instalasi
pengolahan limbah, dan pemanfaatan air tanah.
6. Perhatikan kalimat di atas. Apa inti kalimat yang sesuai?
A. Sidak gedung di Jalan Sudirman.
B. Pemerintah DKI Jakarta mengirimkan.
C. Pemerintah DKI Jakarta mengirimkan surat teguran.
D. Pengiriman surat teguran.
E. Teguran kepada hotel yang melanggar peraturan daerah.
UNESCO saat memperingati Hari Anti-Impunitas untuk Kekerasan terhadap Wartawan, November 2019, memaparkan fakta meningkatnya intensitas kekerasan terhadap wartawan. Secara kuantitatif, aksi kekerasan terhadap wartawan naik 18 persen di sejumlah negara dalam lima tahun terakhir.
Di Indonesia, kita pun tidak pernah kehabisan contoh kasus. Dari data yang dikeluarkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada 53 kekerasan terhadap para wartawan Indonesia sepanjang 2019. Bentuknya beragam, mulai dari kekerasan fisik, kriminalisasi, hingga intimidasi lisan. Kekerasan tersebut melibatkan banyak pihak, antara lain masyarakat awam, aparat negara, organisasi, bahkan akademisi.
Rumitnya modus serta beragamnya pelaku dan pemicu menyisakan fenomena kekerasan terhadap wartawan sebagai puncak gunung es di atas sengkarut berbagai persoalan di negeri ini. Kalau kita cermati, persoalan-persoalan tersebut tidak dapat dilepaskan dari bangunan konstruksi diskursif tentang identitas profesional wartawan. Konstruksi tersebut terkait dengan sejauh mana keberadaan wartawan dalam kekhasannya sebagai pelaku profesi jurnalistik yang dipahami dan diakui.
Seperti halnya wartawan yang pada umumnya membangun konstruksi tentang identitas profesional mereka di atas pengakuan terhadap orientasi normatif yang seharusnya mereka ikuti (Hanitzsch dan Vos, 2017), demikian pula masyarakat. Masyarakat akan menyosokkan identitas wartawan di atas wacana normatif yang mereka pahami dan narasi yang mereka kembangkan tentang praktik jurnalistik wartawan.
Secara ideal, konstruksi identitas seorang wartawan dibangun di atas privilese normatif peran dan tanggung jawab yang dimilikinya. Sebagai ”penutur kebenaran”, misalnya, kinerja wartawan selalu dikaitkan dengan serangkaian prosedur etik menyangkut verifikasi fakta atau bahkan post-hoc fact checking untuk menjamin presisi informasi dan mencegah reportase yang sarat kepentingan.
Prosedur etik jurnalistik ini sekaligus menjadi pembeda normatif bagi identitas profesional wartawan dengan profesi bidang informasi lain. Persoalan tidak akan muncul ketika wartawan dan masyarakat memahami dan mengakui keberadaan etik jurnalistik yang membangun identitas profesional wartawan. Meski demikian, dalam berbagai kesempatan kita menemukan kecenderungan sebaliknya bahwa hal ini terlewatkan.
Kecenderungan laten inilah yang kemudian kerap mengawali proses diskursif selanjutnya menuju deprofesionalisasi (Witschge & Nygren, 2009) sebagai persoalan utama dalam konstruksi atas identitas wartawan. Deprofesionalisasi di sini dipahami sebagai memudarnya identitas profesional wartawan akibat hilangnya kepercayaan masyarakat.
Deprofesionalisasi kian kronis manakala pada tingkat wacana tentang kinerja jurnalis muncul berbagai bentuk narasi malapraktik yang diikuti dengan narasi penolakan terhadap wartawan. Pada titik ini, konstruksi atas identitas profesional wartawan menjadi rentan. Bahkan, bukan tidak mungkin keberadaan wartawan dianggap sebagai musuh.
Dalam konstruksi diskursif seperti inilah deprofesionalisasi menjadi pemicu kekerasan terhadap wartawan. Dalam pengandaian di atas, deprofesionalisasi dengan demikian perlu dibaca sebagai representasi dari persoalan lingkungan sosial bermedia. Salah satu persoalan lingkungan sosiostruktural adalah belum konsistennya penegakan perangkat perlindungan terhadap wartawan. Hal ini merangsang terulangnya kekerasan terhadap wartawan.
Kolaborasi sejumlah lembaga pers untuk mendirikan Komisi Keselamatan Jurnalis pada April 2019 adalah langkah strategis untuk mendekati persoalan sosiostruktural yang melingkupi persoalan depersonalisasi di atas.
Diharapkan usaha memperbaiki lingkungan bermedia dari sisi sosiostruktural diperkuat dengan langkah-langkah nonlitigatif pada wilayah sosiokultural untuk membangun literasi tentang hukum dan kode etik jurnalistik. Banyak lembaga memiliki posisi strategis tentang literasi publik yang bisa diikutsertakan dalam langkah-langkah kolaborasi ini.
7. Bagaimana sikap penulis dalam bacaan di atas?
A. Kritik terhadap para jurnalis yang tak memenuhi prosedur etik
jurnalistik.
B. Mendorong proteksi atas wartawan dengan memperbaiki persoalan
sosiostruktural.
C. Analisa ilmiah atas deprofesionalisasi sebagai pemicu diskursi dan
kekerasan terhadap wartawan.
D. Khawatir atas isu identitas normatif wartawan yang tidak memenuhi kode etis
jurnalistik sehingga berdampak pada kehilangan kepercayaan masyarakat.
E. Kritis terhadap kecenderungan masyarakat untuk menyosokkan identitas
wartawan di atas wacana normatif yang mereka pahami dan narasi yang mereka
kembangkan tentang praktik jurnalistik wartawan hingga berakibat pada
rentannya identitas.
8. Apa fungsi paragraf kedelapan pada wacana di atas?
A. Prosedur kode etik jurnalis dan penerapannya yang menyebabkan
deprofesionalisasi
B. Membahas konsep konstruksi identitas normatif yang harusnya dimiliki oleh
seorang wartawan.
C. Implementasi langkah strategis untuk menyelesaikan persoalan
sosiostruktural.
D. Memberi contoh atas dampak terjadinya isu deprofesionalisasi pada
identitas wartawan.
E. Landasan teori atas deprofesionalisasi sebagai pemicu kekerasan terhadap
wartawan.
9. Kalimat yang sesuai dengan teks di atas adalah…
A. Langkah litigatif harus dilakukan untuk menyelesaikan persoalan
sosiokultural.
B. Perangkat penegakan keamanan bagi wartawan menjadi bagian dari persoalan
deprofesionalisasi yang dialami wartawan.
C. Kecenderungan beberapa wartawan yang tidak memenuhi kode etik jurnalistik
menjadi alasan pemudaran identitas wartawan.
D. Profesi wartawan dan jurnalis yang memiliki identitas normatif tidak
membedakan mereka dengan profesi lain.
E. Privilese normatif yang dimiliki wartawan merupakan isu yang terpisah
dari kinerja mereka dan kode etis jurnalistik.
10. Arti kata ‘sengkarut’ pada teks di atas adalah…
A. rumit
B. banyak seluk-beluk
C. masalah
D. sumber
E. tak menentu
11. Kata “hal ini” pada paragraf 6 merujuk pada…
A. masyarakat
B. pembeda normatif
C. identitas profesional wartawan
D. etik jurnalistik
E. persoalan
- Ayah mengurus ayam jagonya di belakang rumah; Adik sibuk menggambar; Ibu asyik menonton siaran langsung pertandingan sepak bola.
- Ibu bertugas memasak di dapur setiap harinya, sedangkan Ani mencuci peralatan kotor yang ada.
- J.S. Poerwadarminta, Bahasa Indonesia untuk Karang-mengarang (Jogjakarta: UP Indonesia, 1967), hlm. 4.
- Ima department store memberikan harga khusus untuk semua rok yang mereka jual, yakni seharga Rp99.999,99.
13. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan kata yang
tidak baku. Opsi di bawah ini yang telah menuliskan kata dengan baku adalah…
A. gladi, handal
B. realitas, tekad
C. mensinergikan, komoditas
D. harafiah, silakan
E. himpit, antre
- Beberapa cabang utama matematika adalah aljabar, geometri, matematika, dan statistika.
- Selanjutnya, Al-Khawarizmi, seorang ilmuwan dari Arab, memasukkan nol sebagai suatu nilai.
- Kemampuan sosialisasi sains dan teknologi kurang diperhatikan sehingga masyarakat kurang dapat mengikuti perkembangan.
- Komunikasi merupakan faktor penting dalam pergaulan dan kehidupan masyarakat; keefektifannya sangat bergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.
15. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan kata yang
tidak baku. Opsi di bawah ini yang telah menuliskan kata dengan baku adalah…
A. dekret, intepretasi
B. insyaf, substansi
C. telantar, depot
D. diagnosa, elit
E. rubuh, kiasan
Jawaban dan Pembahasan
1. Jawaban B. Banjir menenggelamkan daerah Jabodetabek.